Ada salah satu kisah menarik dari tokoh besar yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (w. 1111 M).
Ia menceritakan sebuah kisah analogi yang begitu apik dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, terkait hati yang tak kunjung tenang. Suatu ketika Al-Ghazali pernah dikeluhkan akan seseorang mengenai kegelisahannya.
“Wahai Syeikh, saya telah banyak berdzikir mengingat Allah hingga ribuan kali, tapi mengapa hatiku tak kunjung tenang?”
Kemudian Al-Ghazali menjawab, “Wahai anak muda, bagaimana pendapatmu jika seseorang yang selalu berusaha keras mengusir anjing namun di dekatnya masih saja tergeletak tulang (makanan kesukaan anjing)?”
“Tentu yang demikian adalah kesia-sian, anjing itu akan senantiasa kembali dan kembali lagi,” jawab sang murid
“Begitu pula dengan hati kita nak, sebanyak apapun kita berdzikir mengingat Allah, seratus kali, seribu kali, sepuluh ribu kali, jika hati kita masih dipenuhi ‘makanan-makanan setan’, maka hati akan tetap saja gelisah.
“Setan itu ibarat anjing, ia akan selalu kembali lagi pada hati yang terdapat makanan setan. Ia mungkin bisa pergi namun hanya sebentar dan akan lekas kembali. Mengapa? karena hati kita masih menyediakan dan menyimpan tulang atau daging yang menjadi kesukaan anjing (setan).
“Begitupun dengan hati yang masih saja menyimpan makanan kesukaan setan. Maka setan akan terus saja bersayam dalam hati, yang membuat kita masih saja gelisah, khawatir, gundah gulana atau bahkan ragu akan janji Allah.
“Apa makanan-makanan setan itu, tak lain dan tak bukan adalah semua penyakit hati. Ia berupa rasa iri, dengki, sombong, riya, dendam, hasad dan kawan-kawannya yang masih saja kita biarkan ada dan berkecambah dalam hati kita. Termasuk cinta dunia, kita khawatir kehilangan dunia, kita khawatir tak mendapatkan kehormatan, tak memiliki jabatan, tak kunjung diakui oleh manusia.”
Itu semua adalah penyebab hati yang tak kunjung tenang meski seribu asma-Nya kita lafalkan ribuan kali. Dalam lisan kita mengingat Allah, tapi hati masih terpaut cinta mati dengan dunia. Dalam raga kita berdzikir namun hati penuh iri dengan capaian dunia saudara. Tak ada yang salah dengan lafal-lafal dzikir telah kita lakukan. Sekali lagi, asal dengan niat lillahita’ala, amal itu semua tetap akan dinilai sebagai pahala.
Namun yang menjadi titik tekan Al-Ghazali adalah, ketidaktenangan hati meski telah beribu dzikir kita lantunkan disebabkan lebih karena banyaknya sumbatan penyakit hati yang harusnya disingkirkan.
Membersihkan hati dari segala penyakit-penyakitnya adalah kunci ketenangan. Karena bersihnya hati adalah kunci kebahagiaan dalam menjalani hidup, kunci kesabaran dalam menapaki jalan-jalan ketataan, dan kunci semua amal ibadah apakah segala amal benar-benar untuk Allah atau untuk selain-Nya.
Di hati pula berpusat semua cerminan aktifitas dzahir. Idz kullu ina’in yadhahu bimaa fiihi, setiap bejana itu akan mengeluarkan sesuai apa yang ada di dalamnya. Begitulah penggalan ungkapan Imam Al-Ghazali dalam Ihya.
Tentu semua ikhtiar dalam membersihkan hati haruslah dengan meminta pertolongan kepada Allah Swt. Karena ia yang menggenggam dan membolak-balikan hati setiap hamba. Wallahu’alam Bishshsawab




